BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Dalam materi mengenai Purchasing Power Parity telah
dibahas dampak dari laju inflasi relatis atas nilai tukar. Ingat bahwa pada
saat laju inflasi sebuah Negara naik relative terhadap laju inflasi Negara lain,
permintaan valutanya menurun karena ekspornya menurun. Selainitu konsumen dan
perusahaan-perusahaan dalam Negara yang memiliki inflasi yang tinggi cenderung
meningkatkan konsumsi import mereka. Kedua tekanan penurunan atas nilai valuta
dari Negara yang memiliki inflasi tinggi. Laju nflasi biasanya bervariasi antar
Negara yang menyebabkan pola-pola perdagangan internasional dan nilai tukar
menyesuaikan diri mengikuti gerak inflasi.
Salah satu teori yang sangat popular dan
kontroversial dalam keuangan internasional adalah teori Purchasing Power Parity (PPP)/Paritas Daya Beli yang berfokus
pada hubungan inflasi nilai tukar.
1.2
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
Definisi dan Bentuk dari Teori PPP?
2. Bagaimana
pengujian Teori PPP?
3. Bagaimana
Analisis Grafik dari PPP?
4. Bagaimana
Penyebab Teori PPP Sulit Diterapkan?
1.3
Tujuan
1. Untuk
mengetahui dan mendeskripsikan definisi dan bentuk PPP
2. Untuk
mengetahui pengujian mengenai teori PPP
3. Untuk
mengetahui dan menganalisis grafik dari PPP
4. Untuk
mengetahui dan mendeskripsikan penyebab teori PPP
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Definisi
dan Bentuk dari Teori PPP
Jeff Madura (2000:
208) menyatakan bahwa Teori Paritas Daya Beli menyatakan bahwa nilai tukar
akan menyesuaikan diri dari waktu ke
waktu untuk mencerminkan selisih inflasi antar dua Negara, akibatnya daya beli
konsumen beli produk-produk domestic akan sama dengan daya bali mereka untuk
produk luar negeri.
PPP adalah suatu teori determinasi kurs. Hal ini
memperliatkan (dalam bentuk paling umun) bahwa kurs berubah diantara dua mata
uang selama periode waktu tertentu ditentukan oleh perubahan pada harga
relative dua Negara (inflation theory of
exchange rate). Karena teori ini menfokuskan pada perubahan-perubahan
tingkat harga yang disebabkan determinan yang ada (pverriding determinant) pada pergeakan mata uang, keadaan ini juga
dikenal dengan “inflation theory of
exchange rates” (Lubis.2007:18)
Menurut Agustin (2009:2)
mendeskripsikan bahwa Teori paritas daya beli ini merupakan salah satu
teori yang paling sering diuji validitasnya. Dalam teori paritas daya beli ini
dikatakan bahwa nilai tukar antara dua negara seharusnya sama dengan rasio dari
tingkat harga di kedua negara tersebut. Sehingga jatuhnya daya beli domestik
pada suatu mata uang (meningkatnya tingkat harga domestik atau meningkatnya
inflasi) akan diikuti oleh depresiasi pada mata uang negara tersebut di pasar
uang luar negeri. Namun, jika yang terjadi adalah sebaliknya yaitu daya beli
domestik mengalami kenaikan (tingkat inflasi turun/terjadi deflasi) maka akan
diikuti pula oleh apresiasi pada mata uangnya.
Teori paritas daya beli memprediksikan bahwa
kenaikan tingkat harga domestik mencerminkan adanya penurunan daya beli mata
uang domestik. Penurunan daya beli mata uang tersebut akan diikuti dengan
depresiasi mata uangnya. Demikian pula sebaliknya, kenaikan daya beli mata uang
domestik mencerminkan terjadinya apresiasi mata uang tersebut secara
proporsional dalam pasar valuta asing (Haryanto
dkk. 2000:16)
Purchasing Power Parity
(PPP) atau Paritas daya beli adalah sebuah metode yang digunakan untuk
menghitung sebuah alternatif nilai tukar antar mata uang dari dua negara.
PPP mengukur berapa
banyak sebuah mata
uang dapat membeli
dalam pengukura internasional
(biasanya dollar), karena barang dan jasa memiliki harga berbeda di beberapa
Negara.
Teori PPP ini terbagi menjadi dua yaitu versi
absolut dan versi relatif. Teori PPP versi absolut sering dikaitkan dengan
teori Law of One Price walaupun
sebenarnya ada perbedaan antara keduanya. Teori
Law of One Price lebih diterapkan pada satu jenis barang saja sedangkan
teori PPP diterapkan pada tingkat harga secara keseluruhan yaitu dengan
menggunakan sekeranjang barang dan jasa. Sementara versi relatif dari teori PPP
muncul karena banyaknya kelemahan dalam versi absolut yaitu berupa asumsiasumsi
yang tidak realistis yaitu tidak adanya biaya transportasi dan bebas dari
hambatan perdagangan. Dalam kenyataannya, biaya transportasi maupun hambatan
perdagangan tidaklah dapat diabaikan. Dalam versi relatifnya, teori PPP
mengubah pemyataan tingkat harga dan tingkat kurs keseimbangan menjadi
"perubahan harga" dan "perubahan" kurs keseimbangan (Agustin. 2009 dalam Salvatore, 1997:128)
1.
Bentuk
Absolut
Menurut Sartono (2003:143-144) menyatakan bahwa PPP
dalam bentuk absolut menyebutkan bahwa tingkat harga penyesuaian seharusnya
sama diseluruh dunia. Dengan kata lain, satu unit home currency (HC)
seharusnya mempunyai daya beli yang sama di seluruh dunia. Teori ini merupakan
aplikasi hokum satu harga pada tingkat harga nasional darpada harga individual.
(Dengan asumsi bahwa perdagangan bebas akan menyamakan harga barang pada semua
Negara, meskipun kesempatan untuk melakukan arbitrase masih tetap terbuka).
Meski demikian, PPP dalam bentuk absolut mengesampingkan pengaruh
perdagangan bebas pada biaya
transportasi, tarif, kuota dan berbagai macam pembatasan serta diffrensiasi
produk.
Bentuk ini juga dinamakan “hukum
satu harga” menyatakan bahwa harga dari produk-produk yang sama di dua Negara
yang berbeda seharusnya sama jika diukur memakai valuta yang sama. Jika
terdapat perbedaan harga setelah diukur
memakai valuta yang sama, akan terjadi perubahan permintaan sehingga
harga yang satu akan mendekati harga yang lain (Madura. 2000 : 209)
PAS = S (US$/£) X P1
Keterangan:
PAS dan
P1 =
harga dari sekumpulan komuditas dan jasa yang sama di Amerika serikat dan
inggris
S (US$/£)= nilai
tukar spot US$ terhadap £
Persamaan tersebut bentuk absolut dari kondisi
paritas daya beli. Persamaan tersebut dapat dimodifikasi menjadi:
S (US$/£) = PAS/ P1
Persamaan ini menjelaskan terbentuknya nilai tukar
sekarang dari US$ terhadap £. Dari
persamaan tersebut diketahui bahwa nilai tukar antar mata uang akan ditentukan
oleh harga komuditas dan jasa. Harga dan jasa komuditas pada umumnya dinyatakan
dalam indeks harga.
Sebagai
contoh, dengan S adalah kurs dolar untuk satu pound. PPP mengimplikasikan bahwa
apabila komuditas tersebut seharga $225 di Amerika Serikat dan £150 di Inggris,
maka nilai tukar seharusnya adalah $1,50 per pound:
$1,50/£ = $225/£150
(Eun dkk.
2013:145)
Konsep paritas daya beli dalam
bentuk absolut mampu menyederhanakan mekanisme terbentuknya nilai tukar antar
mata uang. Tetapi dalam praktek sering ditemukan kesulitan untuk memperoleh
sekumpulan komuditas dan jasa yang sama di Negara yan berbeda. Hal ini karena
terdapat perbedaan selera dan corak kebutuhan. Akibatnya setiap komuditas dan
jasa akan memperoleh bobot pengaruh yang berbeda.
Untuk mengatasi kesulitan dalam
menerapkan bentuk absolut paritas daya beli, maka ditempuh cara lain yaitu
membandingkan laju inflasi antar Negara. Ini merupakan bentuk relative dari
paritas daya beli.(Yuliati dkk.2005:204)
Ada beberapa kelemahan dari “hokum
satu harga yaitu:
a. Biaya
transportasi, hambatan perdaganngan, dan biaya transaksi lainnya, bisa menjadi
signifikan.
b. Harus
ada pasar yang kompetitif untuk barang dan jasa di kedua Negara.
c. Hukum
satu harga hanya berlaku untuk barang yang diperjual-belikan: barang tidak
bergerak seperti rumah dan banyak layanan yang bersifat local, tidak dapat
diperdagangkan antar Negara.
2.
Bentuk
Relatif
Penerapan paritas daya beli secara
absolut mengalami kesulitan karena jarang ditemukan kumpulan komuditi yang bisa
dibandingkan antara Negara yang satu dengan Negara yang lain (Yuliati dkk.2005:204)
Menurut Jeff Madura (2000:209) Bentuk relative dari PPP
adalah sebuah versi alternative yang memperhitungkan keberadaan
ketidaksempurnaan pasar seperti biaya transportasi, tariff dan kuota. Versi ini
mengakiu bahwa keberadaan ketidaksempurnaan pasar ini, hari dar produk-produk
yang sama di Negara-negara yang berbeda bisa jadi tidak sama jika diukur dengan
valuta yang sama. Namun, bentuk relative dari PPP menyatakan bahwa laju
perubahan harga produk harusnnya tidak jauh berbeda jika diukur memakai valuta
yang sama , sepanjang biaya transportasi
dan proteksi perdagangan tidak berubah.
Menurut Agustin (Jurnal
2009 : 3-4) menyatakan PPP relatif menyatakan bahwa perubahan persentase
dalam kurs antara dua mata uang selama periode tertentu sama dengan selisih
antara persentase perubahan atas tingkat-tingkat harga berbagai negara. Dengan
kalimat lain, PPP relatif menerangkan bahwa harga-harga dan kurs mengalami
perubahan sedemikian rupa se-29 hingga nisbah daya beli domestik dan luar
negeri dari setiap negara tetap ber-tahan.
Persamaan sebelumnya menunjukkan bentuk absolut dari paritas daya
beli pada awal tahun. Bentuk relative paritas daya beli akan terpenuhi, jika
pada akhir tahun, sehingga persamaannya dapat dimodifikasi menjadi:
PAS (1 + dPAS)
= S($/£) [ 1 + dS ($/£)] X (1 + dP1)
Keterangan:
dPAS dan dP1
adalah laju inflasi di Amerika Serikat
dan Inggris
Sisi
kanan persamaan di atas menunjukkan tingkat harga di Amerika Serikat pada akhir
tahun. Sementara sisi kanan menunjukkan nilai tukar $ Amerika Serikat terhadap
£ dan tingkat harga di Inggris pada akhir tahun.
Berdasarkan
rasio perubahan dapat dinyatakan dengan persamaan berikut:
dP
($/£) =(1 + dPAS / 1
+ dP1 )-1
(1
+ dPAS) = [1 + dS ($/£)]
x (1 + dP1)
dP($/£) = (1 + dPAS/ 1
+ dP1) – (1 + dP1/ 1 + dP1)
dS($/£) = dPAS – dP1 /
1 + dP1
Persamaan di atas merupakan bentuk
relative dari paritas daya beli. Bentuk relative paritas daya beli menyatakan
bahwa perubahan nilai tukar ditentukan oleh laju inflasi atau persentase
perubahan harga secara umum disetiap Negara.
Misalnya laju inflasi d Amerika
Serikat 9,5% dan di Inggris 4%, maka besarnya perubahan nilai tukar $ Amirika
Serikat terhadap £ adalah:
dP
($/£) = (9,5% - 4% / 1 + 4%) =
5,29%
Kelemahan dari PPP dalam bentuk
Relatif yaitu:
a. Rasio
antar harga barang dan jasa non-traded terhadap harga barang dan jasa traded
lebih tinggi di negara-negara maju daripada di Negara-negara berkembang. Salah
satu alasannya, adalah bahwa teknik produksi barang dan jasa non-traded di
Negara berkembang dan Negara maju menerima gaji ang lebih besar dibandingkan
dengan para pekerja pada produksi barang dan jasa traded.
b. Selama
indeks harga umum termasuk didalamnya barang dan jasa traded dan non-traded,
dan harga-harga barang dan jasa non
traded tidak sama dalam perdagangan internasional tetapi lebih tinggi di Negara
maju. Maka pendekatan PPP relative akan cenderung memberikan hasil bahwa uang
Negara berkembang dinilai terlalu rendah atau nilai tukar di Negara berkembang
mengalami undervalued.
2.2
Analisis
Grafik dari Paritas Daya Beli
Titik
pada gambar 6.1 memperlihatkan bahwa perbedaan inflasi antara dalam negeri dan
luar negeri sebesar perbedaan inflasi tersebut. Garis diagonal yang
menhubungkan keseluruhan titik keseimbangan tersebut dinamalan garis PPP. Titik
A menggambarkan laju inflasi di Amerika Serikat dan Inggris sebesar 9% dan 5%,
karena itu dPAS – dP1= 4% . Kejadian ini memperlihatkan
apresiasi pada pound Inggris sebesar 4%.(Yuliati
& Prasetyo .2005: 106).
Titik B mencerminkan contoh dimana laju
inflasi AS dan Iggris diasumsikan masing-masing 1% dan 6% sehingga dPAS
– dP1= -5%. Titik B memperlihatkan perbedaan inflasi di Amerika
Serikat dan Inggris sebesar 5%. Hal ini akan menyebabkan depresiasi pound
Inggris sebesar 5%. Apabila Kurs tidak merespon perbedaan inflasi antara kedua
Negara seperti pada teori PPP, maka titik ini akan terletak diluar garis PPP.
Gambar
tersebut menggambarkan titik-titik disparitas daya beli
Titik C mewakili dPAS –
dP1= 4%. Tetapi valuta asing yang dimaksud hanya mengalami
depresiasi 1% . konsekuensinya muncul disparitas daya beli. Daya beli konsumen
Negara asal atas barang luar negeri tersebut
menjadi lebih baik relative terhadap daya beli mereka atas produk – produk
domestic. Teori PPP menyatakan bahwa disparitas semacam itu hanya muncul dalam
jangka pendek. Dengan belalunya waktu,
seiring konsumen Negara asal mengambil keuntungan dari relative murahnya
produk-produk luar negeri, kenaikan valuta asing yang dimaksud (karena permintaan dari produk-produk luar
negeri meningkat) akan menyebabkan titik C bergerak mendekati garis PPP
mewakili daya beli konsumen domestic yang lebih tinggi atas produk-produk
domestik mereka sendiri.
Titik D mewakili laju inflasi
domestic yang lebih rendah daripada laju inflasi Negara asing sebesar 3% (dPAS
– dP1= -3%). Tetapi, valuta asing yang dimaksud hanya mengalami
depresiasi sebesar 2%. Sekali muncul disparitas daya beli. Daya beli atas
barang ngara asing menjadi lebih burukdaripada daya beli atas produk domestic.
Teori PPP menyatakan bahwa valuta asing dalam kasus ini harus mengalami
depresisasi 3% agar selisih inflasi bisa sepebuhnya ditutupi. Karena valuta
asing yang dimaksud tidak melemah sejauh ini, konsumen Negara asal mengurangi
pembelian produk Negara asing, yang menyebabkan valuta asing melemah sampai
sejauh yang diindikasikan oleh teori PPP, dan titik D akan bergeak mendekati
gris PPP. Semua titik disebelah kanan (di bawah) garis PPP mewakili daya beli
yang lebih baik atas produk-produk
domestic daripada produk-produk Negara asing.
2.3
Pengujian
Teori Paritas Daya Beli
Teori PPP tidak hanya
memberikan penjelasan tentang bagaimana selisih laju inflasi relative antara
dua Negara mempengaruhi nilai tukar, tetapi juga memberikan informasi yang bisa
digunakan untuk memprediksi nilai tukar. Riset-riset penting telah dilakukan
untuk menguji keberadaan PPP. Hasil dari riset-riset ini akan dibahas berikut ini.
Tetapi sebelum itu, bagaimana menguji keberadaan PPP? Salah satu metode yang
sederhana adalah dengan memilih dua Negara (katakanlah AS dan Inggris) dan
membandingkan selisih laju inflasi keduanya dengan presentase perubahan nilai
tukar valuta Negara asing yang dimaksud
selama beberapa periode waktu. Selanjutnya, kita dapat mem-plot tiap titik yang
mewakili laju inflasi dan presentase perubahan nilai tukar dan kemudian menentukan apakah titik-titik
tersebut menyerupai garis PPP atau
tidak. Jika titik-titik tersebut menyimpang secara substansial dari garis PPP,
maka presentase perubahan nilai tukar
actual tidak dipengaruhi oleh selisih inflasi seperti yang dinyatakan
oleh teori PPP (Madura. 2000: 215)
Menurut Yuliati & Prasetyo (2005: 108) menyatakan bahwa masalah
utama dalam pengjian validitas konsep
paritas daya beli adalah kesulitan dalam menemukan indeks harga yang akurat
untuk mengukur laju inflasi. Hal ini karena masing-,masing Negara memasukkan
komoditas yang berbeda di dalam menghitung indeks harga umum, serta memberikan
bobot yang berlainan pada setia komoditas.
Kravis & Lipsey (1978) meneliti
hubungan antara laju inflasi dan nilai tukar dengan menggunakan indeks harga
yang berbeda. Indeks harga yang dipakai adalah indeks harga konsumen, indeks
harga produsen, dan indeks harga dari barang dan jasa yang dipergunakan dalam
perhitungan GNP (Gross National Product). Penelitian dua pakar ini menggunakan
dua objek, yaitu komuditas yang diperdagangkan
(tradable commodity) dan yang
tidak dipedgangkan (nontradeble
commodity). Dari studi tersebut disimpulkan bahwa konsep paritas daya beli lebih
berlaku untuk komoditas yang diperdagangkan, meskipun secara keseluruhan
ditemukan penyimpanan nyata dari keadaan yang sesungguhnya (Yuliati & Prasetyo .2005: 108).
Menurut Jeff Madura (2000:215) menyebutkan cara lain untuk
menguji eksistensi PPP, beberapa Negara asing dapa dibandingkan dengan Negara
asal sekaligus sepanjang setu periode waktu terentu. Selisih inflasi dari
masing-masing Negara asing dengan inflasi Negara asal ditunjukkan bersama –sama
dengan besarnya perubahan nilai tukar yang diukur. Jadi, sebuah titik dapat
di-plot pada sebuah grafik untuk masing-masing
Negara asing di nalisis. Jika titik-titik yang dimaksud jauh menyimpang
dari garis PPP, maka nilai tukar tidak bereaksi terhadap selisih seperti apa
yang dinyatakan oleh teori PPP, maka nilai tukar tidak bereaksi terhadap selisih inflasi
seperti apa yang dinyatakan oleh teori PPP. Teori PPP dapat diuji untuk tiap
Negara yang informasinya tentang inflasi diketahui.
Richardson (1978) berusaha meneliti
apakah hokum satu harga berlaku. Dasar pemikirannya adalah apabila hokum satu
harga tidak berlaku, maka konsep paritas daya beli juga tidak berlaku, begitu
pula sebaliknya. Studi ini menimpulkan bahwa untuk sebagian besar komoditas,
hokum satu harga tidak berlaku.
Di Indonesia, studi tentang doktrin
paritas daya beli pernah dilakukan oleh
Setyawati (1993,hal. 87-100). Dalam
menguji doktrin PPP, Setyawati menggunakan tga model yaitu model empiris
frenkel, Error Correction Model (ECM) dan Insukindro Error Correction Model
(I-ECM). Dengan menggunakan model empiris frenkel diperoleh bahwa doktrin PPP
secara absolut tidak berlaku di Indonesia. Sementra itu, hasil estimasi doktrin
secara relative menunjukkan bahwa variable rasio presentase perubahan harga
tidak signifikan sehingga doktrin secara relative juga tidak berlaku di
Indonesia. Dengan menggunakan ECM, hasil estimasi menunjukkan bahwa doktrin
paritas daya beli pada model ini juga tidak berlaku. Begitu pula dengan
menggunakan I-ECM pada derajat kepercayaan 5%, doktrin PPP tidak berlaku (Yuliati & Prasetyo .2005: 108-109).
2.4
Penyebab
Teori Paritas Daya Beli Diterapkan
1.
Faktor-faktor
lain yang berpengaruh
Menurut Yuliati, Sri Handaru (2005:109) menyatakan bahwa nilai tukar
dipengaruhi oleh banyak faktor selain perbedaan dari tingkat inflasi.
Pengendalian atau kebijakan pemerintah merupakan salah satu faktor penting yang
memepengaruhi nilai tukar.
Sebagai ilustrasi, asumsikan bahwa
laju inflasi prancis adalah 5% diatas laju inflasi AS. Dari informasi ini teori
PPP menyatakan bahwa franc prancis harus mengalami depresiasi 5% terhadap dolar
AS. Tetapi, jika pemerintah prancis menciptakan
kendala-kendala perdagangan atas ekspor AS, konsumen dan perusahaan-perusahaan
prancis tidak dapat menyesuaikan pengeluaran mereka sebagai reaksi terhadap
selisih inflasi. Dengan demikian, nilai tukar franc-dolar tidak aan mengalami
penyesuaian. Pada awal tahun 1990-an, sejumlah Negara Eropa mengalami laju inflasi yang lebih tinggi daripada AS.
Tetapi, valuta dari Negara-negara ini
tidak mengalami depresiasi terhadap dolar AS karena suku bunga mereka yang
tinggi menarik banyak dana masuk dari investor-investor AS. Dalam periode yang
sama, Hong Kong, Singapura, dan Korea Selatan juga mengalami laju inflasi yang
relative tinggi. Namun, valuta dari Negara-negara ini tidak mengalami
depresiasi terhadap dolar AS karena besarnya arus modal masuk dari
perusahaan-perusahaan dan investor-investor AS.
Dalam rangka mengambil keuntungan dari
tingginya suku bunga di
Negara-negara ini (Madura.2000:217)
2.
Tidak
ada produk substitusi
Jeff Madura (2000:207) menyatakan bahwa ide
dibelakang teori PPP adalah bahwa segera setelah harga-harga disebuah Negara
menjadi relative lebih tinggi, Negara lain akan mengurangi impor dari Negara
tersebut dan beralih ke produk-produk domestic. Pengalhan ini akan mempengaruhi
nilai tukar. Namun, sebagaimana jika prosuk substitusi tidak tersedia dalam pasar domestic? Sebagai
contoh, jika inflasi di Prancis meningkat 5% lebih tinggi daripada inflasi di
AS, konsumen AS mungkin tidak menemukan produk substitusi yang cocok dalam pasar
domestic. Jadi, mereka mungkin akan terus membeli produk-produk prancis dan
franc prancis mungkin tidak mengalami depresiasi seperti yang diterapkan oleh
teori PPP.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Purchasing Power Parity
(PPP) atau Paritas daya beli adalah sebuah metode yang digunakan untuk
menghitung sebuah alternatif nilai tukar antar mata uang dari dua negara.
PPP mengukur berapa
banyak sebuah mata
uang dapat membeli
dalam pengukura internasional
(biasanya dollar), karena barang dan jasa memiliki harga berbeda di beberapa
Negara.
Teori PPP ini terbagi menjadi dua yaitu versi
absolut dan versi relatif. Teori PPP versi absolut sering dikaitkan dengan
teori Law of One Price walaupun
sebenarnya ada perbedaan antara keduanya. Teori
Law of One Price lebih diterapkan pada satu jenis barang saja sedangkan
teori PPP diterapkan pada tingkat harga secara keseluruhan yaitu dengan
menggunakan sekeranjang barang dan jasa. Sementara versi relatif dari teori PPP
muncul karena banyaknya kelemahan dalam versi absolut yaitu berupa asumsiasumsi
yang tidak realistis yaitu tidak adanya biaya transportasi dan bebas dari
hambatan perdagangan. Dalam kenyataannya, biaya transportasi maupun hambatan
perdagangan tidaklah dapat diabaikan. Dalam versi relatifnya, teori PPP
mengubah pemyataan tingkat harga dan tingkat kurs keseimbangan menjadi
"perubahan harga" dan "perubahan" kurs keseimbangan (Agustin. 2009 dalam Salvatore, 1997:128)
Kesimpulan yang dapat ditarik dari berbagai
penelitian
a. PPP
dapat digunakan dengan baik untuk periode jangka panjang tidak untuk jangka
pendek
b. Teori
PPP cocok digunakan untuknegara-negara yangmemiliki tingkat inflasi yang tinggi
dan pasar modal yang belum maju.
DAFTAR PUSTAKA
Agustin,
Grisvia. 2009. Analisis Paritas Daya Beli
Pada Kurs Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat Periode September 1997 –
Desember 2007 dengan Menggunakan Metode Error Correction Model. Vol. 1:
28-38. Website: http://fe.um.ac.id/wp-content/uploads/2009/09/GRIS_A-PARITAS.pdf
Haryanto,Ivan.
Dkk. 2000. Penentuan Nilai Tukar Mata
Uang Asing dengan Menerapkan Konsep Paritas Daya Beli. Vol. 2, No. 2: 14 –
28. Website: http://jurnalmanajemen.petra.ac.id/index.php/man/article/viewFile/15600/15592
Lubis,
M. Roza Aulia. 2007. Analisis Pengujian
Penerapan Purchasing Power Parity Pada Mata Uang Rupiah Terhadap Dolar Amerika:
1-106. Website: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/7162/1/047018031.pdf
Madura,
Jeff. 2000. Manajemen Keuangan
Internasional. Jakarta: Erlangga
Sartono,
R. Agus. 2003. Manajemen Keuangan
Internasional. Yogyakarta: BPFE
Yuliati,
Sri Handaru & Prasetyo, Handoyo. 2005.
Dasar-Dasar Manajemen Keuangan Internasional. Yogyakarta: Andi
Terimakasih Semoga Bermanfaat
0 comments:
Post a Comment